CISDI Sayangkan Isu Kesehatan di Debat Capres Terakhir Belum Menyentuh Akar Permasalahan

Read Time:3 Minute, 5 Second

dianrakyat.co.id, Jakarta – Perdebatan isu kesehatan pada debat calon presiden terakhir pada Minggu malam, 4 Februari 2024, tak lepas dari akar permasalahannya. Hal tersebut diungkapkan oleh pendiri dan CEO Center for Strategic Development Initiatives Indonesia (CISDI) Dayah Satyani Saminarsih.

“Konten yang dibicarakan dalam debat capres masih di permukaan dan belum menyentuh akar permasalahan struktural,” kata Dayah dalam keterangan tertulis yang diperoleh Health dianrakyat.co.id pada Kamis, 8 Februari 2024.

Seperti diketahui, debat capres malam itu juga membahas isu kesehatan seperti stunting, layanan kesehatan dasar, sumber daya manusia kesehatan, dan kelompok rentan. Terkait pembahasan tersebut, CISDI menyayangkan penjelasan para calon presiden yang kurang mendalam. Faktanya, banyak terjadi miskonsepsi atau miskonsepsi mengenai masalah kesehatan.

Tiga pasangan calon (Paslow) dinilai masih berbicara pada level normatif dan tidak fokus pada arah strategis pembangunan kesehatan, seperti kebijakan anggaran, sistem kesehatan, dan pelayanan kesehatan. Diya menambahkan, salah satu permasalahan kompleks yang belum diperhatikan dengan baik adalah stunting.

Prabowo Subianto lah yang pertama kali menyinggung soal stunting. Calon presiden nomor urut 02 dalam pernyataan visi dan misinya mengatakan pemberian makanan bergizi dapat menjadi solusi pengendalian stunting. Stunting kembali dibahas dalam sesi tanya jawab antara Prabowo dan calon presiden nomor urut 03 Gunjar Pranuvu.

Diya mengatakan, permasalahan kesehatan, khususnya stunting, tidak bisa diatasi hanya dengan memberikan makanan atau minuman gratis. Salah satu penyebab terjadinya stunting adalah faktor sosio-struktural yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan perempuan.

Beban ganda yang dihadapi perempuan, relasi kekuasaan yang tidak setara, bias gender, prasangka sosial, dan infrastruktur yang tidak memadai menyulitkan perempuan dalam mengambil keputusan mengenai kesehatan dirinya dan anak-anaknya. Faktor relevan lainnya termasuk: rendahnya status sosial-ekonomi rumah tangga; rumah dengan toilet yang tidak memadai; buruknya akses terhadap layanan kesehatan di banyak daerah.

Menurut Dia, permasalahan gizi buruk di Indonesia sebenarnya lebih luas dibandingkan stunting. Ini termasuk kelebihan berat badan atau obesitas, kurus dan kekurangan gizi. Masalah pola makan tersebut erat kaitannya dengan faktor risiko seperti konsumsi makanan atau minuman tinggi gula, garam, lemak (GGL) dan produk tembakau. Alat eksisi perlu digunakan untuk memperkuat dampak positif dari program perubahan gaya hidup. Terkait dengan sumber daya manusia di bidang kesehatan.

Topik lain yang mengemuka pada diskusi sebelumnya adalah sumber daya manusia (HRK) kesehatan. Beberapa kali pasangan calon telah membahas kekurangan dokter.

Calon Calon 02 ingin menambah Fakultas Kedokteran, Calon Calon 01 juga setuju untuk memberikan beasiswa kepada dokter jika tujuannya untuk meningkatkan kualifikasi. Sedangkan calon Jodi 03 berencana memiliki satu tenaga kesehatan di satu puskesmas di setiap desa. Proporsi dokter di Indonesia

Jumlah dokter umum di Indonesia masih belum memenuhi rasio jumlah dokter umum per 1.000 penduduk yang direkomendasikan WHO. Pada tahun 2022, proporsi dokter umum di Indonesia hanya 0,84 per seribu penduduk.

Selain itu, penerapan sembilan jenis SDMK di layanan kesehatan primer masih terus berjalan. Puskesmas dengan sembilan jenis HRK yang lengkap di Indonesia hanya berjumlah 42,67% dari total 10.374 puskesmas pada tahun 2022.

Angka tersebut jauh dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 83 persen pada tahun 2024. Artinya, jumlah dan keahlian HRK harus ditingkatkan selain dokter.

Dayah menjelaskan, persoalan kekurangan sumber daya manusia sebenarnya harus dilihat dalam konteks persoalan produksi dan distribusi.

Peningkatan jumlah fakultas dan dana hibah ditujukan untuk mengatasi permasalahan produktivitas, sedangkan solusi distribusi juga diperlukan untuk menyeimbangkan HRK.

Ketimpangan distribusi HRK erat kaitannya dengan belum adanya kebijakan yang menjamin hak HRK atas lingkungan kerja yang baik.

Seperti kebijakan yang mengatur keselamatan, struktur gaji yang adil, jalur karier, keamanan kerja, dan penyelesaian infrastruktur.

Beban kerja SDMK yang tinggi juga mempengaruhi penyediaan lingkungan kerja yang baik dan kualitas pelayanan. Pembagian beban kerja (transfer tugas) harus dilakukan dengan segera agar baik sumber daya manusia, tenaga kesehatan, maupun tenaga medis tidak terbebani secara berlebihan. Penggunaan teknologi informasi juga harus didorong untuk mengurangi beban administratif.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Penggemar Honda Stylo Bikin Komunitas
Next post Samsung Galaxy AI dalam Bahasa Indonesia Akan Hadir Tak Lama Lagi