Angka Kelahiran 2023 Lebih Rendah dari 2022, Jepang Terancam Krisis Populasi

Read Time:2 Minute, 24 Second

Liptan6.com, Jakarta – Jumlah bayi yang lahir di Jepang akan kembali menurun pada tahun 2023, menjadikannya angka kelahiran terendah selama delapan tahun berturut-turut. Menurut data Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang, jumlah bayi yang lahir tahun lalu sebanyak 758.631, turun 5,1% dari tahun 2022.

Penurunan ini memperburuk krisis demografi yang dihadapi Jepang. Angka kelahiran pada tahun 2023 akan menjadi yang terendah sejak statistik dimulai pada tahun 1899. Menurut Guardian, penyebab utama penurunan ini adalah penurunan jumlah pernikahan yang berada pada level terendah dalam 90 tahun terakhir.

Jumlah pasangan terdaftar di Jepang pada tahun 2023 sebanyak 489.281, turun 5,9% dari tahun sebelumnya. Karena nilai-nilai keluarga patriarki tradisional di Jepang, jarang ada anak yang lahir di luar nikah.

Pemerintah Jepang telah menyatakan keprihatinannya mengenai krisis demografi ini dan mengatakan penting untuk membalikkan tren ini dalam enam tahun ke depan. Jika Jepang ingin mengatasi krisis ini dan menjamin masa depannya, Jepang harus berupaya meningkatkan angka kelahiran dan angka pernikahan.

Menurut survei terbaru, sebagian besar anak muda di Jepang tidak ingin menikah atau berkeluarga. Hal ini disebabkan oleh prospek pekerjaan yang suram, kenaikan gaji yang lebih cepat dari perkiraan, dan budaya perusahaan yang tidak mendukung orang tua yang bekerja.

Budaya juga telah berubah di Jepang. Bayi yang menangis dan anak-anak yang bermain di luar sering kali dianggap sebagai gangguan, dan banyak orang tua muda mengatakan bahwa mereka sering merasa kewalahan.

Sekretaris Kabinet Imomasa Hayashi mengatakan angka kelahiran terus menurun dan telah mencapai “situasi serius.”

“Enam tahun ke depan, atau hingga tahun 2030an ketika populasi generasi muda mulai menurun dengan cepat, akan menjadi kesempatan terakhir kita untuk membalikkan tren ini.”

“Tidak ada waktu untuk disia-siakan.”

Perdana Menteri Fumio Kishida menyebut penurunan angka kelahiran sebagai “krisis terbesar yang dihadapi Jepang” dan mengumumkan paket kebijakan yang bertujuan memberikan dukungan dan subsidi untuk persalinan, anak-anak, dan keluarga.

Pemerintah Jepang berusaha mengatasi krisis populasi melalui berbagai inisiatif, namun para ahli mempertanyakan efektivitasnya. Inisiatif yang ada saat ini, seperti insentif finansial dan perpanjangan cuti melahirkan, ditujukan bagi mereka yang sudah menikah atau sudah berencana untuk memiliki anak.

Hal ini dinilai tidak tepat karena tidak menjangkau generasi muda yang belum ingin menikah atau memiliki anak.

Selama 50 tahun terakhir, jumlah kelahiran di Jepang mengalami penurunan yang signifikan. Angka kelahiran telah turun dari puncaknya sekitar 2,1 juta pada tahun 1970 menjadi kurang dari 760.000 per tahun, penurunan yang lebih cepat dari perkiraan pada tahun 2035.

Penurunan populasi yang signifikan ini akan berdampak besar pada perekonomian Jepang dan keamanan nasional. Pada tahun 2070, populasi Jepang diperkirakan menurun sebesar 30% menjadi 87 juta orang, dan jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas diperkirakan menurun sebesar 40%. Situasi ini akan memperburuk krisis tenaga kerja dan meningkatkan beban fiskal negara.

Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah perlu fokus pada generasi muda dan mengembangkan strategi yang lebih luas untuk mengatasi faktor-faktor yang menghambat mereka untuk menikah dan memiliki anak.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Perang Rusia-Ukraina Libatkan Penyebaran Video TikTok AI Palsu
Next post The Big Van, Wadah 8 Komunitas Pecinta Mobil Keluarga Bongsor di Indonesia